Foto dalam Pandangan Generasi Millennial

alifahsyamsiyah:

Pictures are superior

Peneliti menemukan pola kerja otak manusia dalam mengelola
informasi dalam bentuk gambar dan tulisan. Ada suatu teori yang dikenal dengan
nama “multimodal learning”. Teori ini mengatakan bahwa gambar diproses dalam
beberapa channel dalam otak kita, sehingga membuat informasi yang didapat dari
gambar lebih mudah diingat.

Seorang professor di bidang psikologi dari The University of
Western Ontario, Allan Paivio, adalah yang pertama kali memperkenalkan teori “dual-coding”.
Berdasarkan teori ini, informasi visual dan verbal disimpan dalam tempat yang
berbeda dalam memori kita. Konsep yang didapat dari gambar akan diproses secara
visual dan verbal, sedangkan konsep dari tulisan hanya disimpan dalam bentuk
verbal saja. Itulah mengapa kita bisa mengingat informasi dari gambar enam kali
lebih baik dibandingkan informasi dari tulisan saja.

Lebih lanjut lagi, suatu penelitian menunjukkan bahwa
manusia dapat mengingat lebih dari 2500 gambar dengan akurasi 90% meskipun tiap
gambar itu hanya ditampilkan dalam waktu 10 detik.

Hey, sounds familiar
bukankah suatu media sosial berbasis gambar dan video (you must know what I mean) menetapkan batas 15 detik per postingannya?
Tentu saja mereka belajar dari teori-teori seperti ini.

Memajang foto, bolehkah?

Saat masih di kampus dulu, saya sempat tergelitik melihat
suatu poster dari organisasi keislaman kampus mengenai pemilihan ketua dan
kaput (ketua keputrian) untuk periode baru. Di poster itu foto calon ketuanya
ditampilkan dengan jelas, tapi foto calon kaputnya hanya berupa kartun atau
gambar bunga. Saya yang masih polos pun bertanya ke senior saya, “Kenapa bisa
begitu Kak?” Saya ingat jawaban senior saya saat itu adalah karena sebagai
perempuan kita harus menjaga aurat kita, termasuk dalam bentuk gambar. Katanya,
otak kaum adam itu ajaib sekali, jangankan gambar, melihat sepatu dari
perempuan yang dikasihinya pun hati mereka bisa berdegup kencang. Wah bisa
begitu ya.

Setelah menikah, saya senang sekali memajang foto pernikahan
di kamar. Sekedar foto kecil, yang mengobati rasa rindu saya yang saat itu
masih hidup berjauhan dengan Abang. Hal itu masih berlanjut sampai akhirnya
Abang menonton kajian keislaman tentang hukum memajang foto. Kalau lukisan bergambar
makhluk sudah jelas keharamannya karena sama saja dengan berusaha menyaingi
karya Allah yang Maha Sempurna. Tetapi terkait foto ini masih banyak
persinggungan di kalangan ulama. Berdasarkan jumhur ulama yang mahsyur, mengambil
foto tidaklah terlarang, karena gambar pada foto sama saja dengan bayangan yang
terlihat saat kita sedang bercermin—yang artinya tak ada upaya untuk mereka
ulang ciptaan Tuhan. Meletakkannya di dalam album foto pun tidak terlarang. Namun
untuk sampai memajangnya, nyatalah masih ada perdebatan berkisar hal tersebut. Hmm,
kira-kira mengapa ya menyimpan foto dalam album diperbolehkan, tapi memajangnya
termasuk hal yang syubhat?

Tak hanya terkait dengan hal syubhat, memajang foto di media
sosial juga bisa mengundang orang lain yang tidak senang dengan kita untuk
melakukan hal-hal gaib. Weew, zaman modern gini emang ada santet-santetan? Awalnya
saya juga tidak percaya, sampai akhirnya saya mendengarkan kajian tentang
gangguan jin. Tidak hanya kecemasan, bahkan jin yang dikirim itu bisa
menimbulkan penyakit berat seperti kanker. Naudzubillahi min dzaliq T.T

Put it into context

Sebagai generasi millennial, kita dihadapkan dengan berbagai
fasilitas untuk berbagi. Berbagi bisa apa saja. Berbagi cerita lucu hari ini,
berbagi aktivitas yang kita lakukan pagi ini, berbagi pemandangan yang kita
lihat saat ini, berbagi apapun…

Berbagi identik dengan hal yang baik, tapi apakah bijak jika
semua aktivitas kita (bahkan yang sifatnya sangat pribadi) juga disebarkan ke
seluruh penjuru dunia? Tidakkah ada setitik rasa jumawa ketika postingan itu
berhasil dilihat oleh banyak orang, di-like dan di-comment oleh jutaan umat
manusia? Apakah niat baik itu tidak menyimpang ditengah-tengah saat postingan
kita dipuji oleh teman-teman kita? Well, itu tentu kembali lagi ke diri kita.

Tapi, tetap saja ada hal yang tidak bisa kita kontrol oleh
diri kita sendiri. Tentang bagaimana orang lain memandang cerita kita, tentang bagaimana
orang lain “memanfaatkan” foto kita untuk kepentingannya. Kita tidak bisa melarangnya
berbuat tidak baik kepada diri kita, tapi kita bisa mencegah agar hal itu tidak
terjadi. Dengan tetap rendah hati, meski hanya dalam sebentuk foto… insya
Allah.

Semoga kita bukan
hanya termasuk generasi millennial, tapi generasi millennial yang rendah hati,
bijak dalam menyebarkan informasi, dan cerdas dalam menggunakan teknologi.

Ps. Teori-teori di atas didapatkan dari buku “Talk Like Ted”,
Carmine Gallo.

 

Leave a comment